A. Pendahuluan
Dalam sejarah, peradaban Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah seorang tokoh agung yang dilahirkan dalam lingkungan masyarakat jahiliah dan paganis di Jazirah Arab. Dia adalah Muhammad bin ‘Abdullah, rasul terakhir dan penutup para nabi. Perjalanan kehidupannya adalah sebuah sejarah kepemimpinan yang sangat penting bagi umat manusia. Secara umum, kepemimpinannya dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah adalah masa yang dimulai dari diangkatnya beliau menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Sedangkan periode Madinah adalah masa ketika Nabi Muhammad berada di Madinah hingga beliau wafat.
Kepemimpinan Muhammad saw pada masa hidupnya telah memberikan arti penting dalam sejarah peradaban manusia pada umumnya, dan Islam pada khususnya. Kepemimpinan beliau dipandang tidak hanya sebatas sebagai pemimpin agama, akan tetapi juga sebagai pemimpin negara. Dengan kata lain, kepemimpinannya tidak hanya sebagai rasul, melainkan juga sebagai negarawan. Namun, ada sebagian orang yang menyangkal pernyataan ini. Oleh karena itulah, tulisan singkat ini akan membahas kepemimpinan Nabi Muhammad saw periode Mekkah dan periode Madinah. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman tentang Muhammad sebagai pemimpin agama dan Negara dalam tinjauan historis atau sejarah.
B. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Mekkah
1. Muhammad Menjadi Nabi dan Rasul
Sejak Muhammad saw belum menjadi nabi, beliau adalah orang yang tidak pernah cacat (tercela) di tengah masyarakatnya. Selain karena terlahir dari keluarga mulia, Muhammad juga selalu dikenal hanya mengerjakan perbuatan yang mulia atau terpuji saja. Di samping itu, beliau memiliki prestasi sejak usia belia. Beliau menjadi pemersatu umat dalam peletakan kembali Hajar Aswad, sehingga para pemimpin suku dan masyarakat mengakui beliau sebagai Al-Amin.[1]
Menjelang usia kematangannya, kebiasaan Muhammad adalah mendatangi gua Hira untuk melakukan meditasi dan bertafakkur[2] tentang Yang Maha Pencipta untuk mencari untuk mencari jawaban-jawaban terhadap misteri kehidupan. Dia benar-benar sangat tergoncang melihat kemungkaran masyarakat, penyembahan berhala dan kegiatan yang tidak manusiawi. Ketika beliau mendekati usia empat puluh tahun, ia meningkatkan kontemplasi dan tafakkur. Penyembahan berhala dan menurunnya moral masyarakat sangat menekan perasaannya, karena itu ia mencari jalan yang lurus seperti yang disingkapkan oleh Al Qur’an:
“Dan Dia menemukanmu (Muhammad) sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Q.S. 93: 7)[3]
Suatu hari di bulan Ramadan 610 M (hari Senin, 17 Ramadan, menurut Ibnu Sa’d) ketika ia sedang khusyuk bertafakkur di gua, ia melihat malaikat Jibril dan menyuruhnya membaca.[4] Di saat inilah wahyu pertama turun, yaitu Surat al-‘Alaq ayat 1-5. Turunnya wahyu pertama ini berarti beliau telah dipilih Tuhan sebagai Nabi.
Dalam wahyu pertama itu, beliau belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[5] Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya.[6]Dengan turunnya perintah itu, maka Nabi Muhammad telah diangkat menjadi Rasulullah (utusan Allah) yang membawa misi Islam untuk umat. Dan beliau lah Rasul terakhir serta penutup para nabi.
Di masa awalnya, Islam disiarkan secara rahasia. Namun, pada masa ini banyak juga yang segera masuk Islam. Orang yang pertama masuk ke dalam Islam adalah istrinya Khadijah, Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah serta Ummu Aiman. Setelah mereka menyusul Ammar bin Yasir, Khabab bin al-Arat, ‘Utsman bin Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Talhah, Arqam, Sa’id bin Zaid, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Mazh’un, Ubaidah dan Shuhaib al-Rumi. Misi rahasia ini berlangsung kira-kira tiga tahun, selama ini empat puluh orang memeluk Islam. Para pemeluk Islam yang pertama-tama ini terdiri dari orang miskin, bahkan banyak dari mereka yang berasal dari hamba sahaya. [7]
Pada tahun ketiga dari kenabian, datang perintah Allah untuk menyiarkan ajaran Islam secara terbuka.[8] Rasulullah kemudian naik ke atas bukit Shafa, Ia memanggil bangsa Quraisy. Ketika mereka telah berkumpul, ia minta anggota keluarganya dari Bani Abdu Manaf untuk mendekat. Lalu, ia berpidato: “Apakah saudara-saudara percaya bila kukabarkan bahwa ada bala tentara musuh yang mendekat dari balik bukit?” “Tentu kami percaya, karena engkau selalu jujur”, jaawab mereka serentak. Kemudian Nabi meneruskan, “kamu sekalian adalah orang yang terdekat kepadaku dari suku Quraisy. Saya minta saudara untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bila saudara menolak maka saya tidak akan menolong kamu sekalian baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bila saudara beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, saya akan menjadi saksi bagi saudara sekalian di hadapan Allah. Bila saudara mengabaikan ajaran Allah, maka tentu saudara akan celaka”. Begitu Nabi diam, tiba-tiba Abu Lahab, salah seorang paman Nabi berkata dengan marah: “Celaka engkau hai Muhammad! Hanya untuk inikah engkau panggil kami?” Lantas mereka bubar meninggalkan bukit Shafa dan tidak ambil peduli terhadap apa yang diucapkan oleh Muhammad saw.[9]
Suatu hari Nabi saw pergi ke Ka’bah di Masjidil Haram dan mengucapkan kalimat syahadah dengan suara yang keras. Lalu tindakan ini dipandang sebagai penghinaan yang amat besar terhadap Ka’bah dan adapt istiadat Quraisy, maka muncullah kerusuhan dan orang kafir mulai menyerang Rasul. Harits bin Abi Hala yang telah memeluk Islam, segera keluar rumah hendak menyelamatkan Rasulullah, tetapi beliau malah terbunuh menjadi syahid.[10] Begitulah penentangan para kafir Quraisy kepada Rasul dan muslimin. Namun Muhammad saw dan pengikutnya tetap meneruskan misi Islam secara terbuka. Seiring itu, penindasan dan penganiayaan yang tidak manusiawi terhadap kaum Muslimin makin lama makin menigkat. Orang-orang Quraisy bahkan semakin semangat berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghancurkan misi Nabi saw. Orang-orang yang berpengaruh seperti Abu Bakar, Utsman dan Zubair juga tidak terkecuali. Orang-orang muslim yang miskin banyak ditangkapi lalu dilempari batu kerikil di lembah yang amat panas dan dijemur di bawah terik matahari pada siang hari. Bilal, budak dari Abyssinia milik orang kafir Mekkah, dipaksa tidur telentang di atas pasir yang membara di tengah hari, lalu dadanya ditindihi batu besar sehingga ia tidak bisa menggerakkan anggota badannya sedikitpun. Kemudian Bilal diminta untuk melepaskan keislamannya, namun ia tetap bertahan dalam ketauhidannya walaupun tengah disiksa. Lantas Abu Bakar membeli budak ini dan memerdekakannya.[11]
Secara umum, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh kafir Quraisy untuk menghalangi Nabi Muhammad dalam menjalankan misi Islam di Mekkah, yaitu:
1. Diantara upaya Quraisy yang halus
a. Melakukan negosiasi kepada Abu Thalin agar Muhammad menghentikan misinya.
b. Menawarkan kepada Muhammad apa saja yang diinginkan baik harta, wanita, kedudukan, atau dokter kalau memang beliau memiliki kelainan jiwa.
c. Menawarkan ibadah secara bergantian.
2. Diantara upaya yang agak kasar:
a. Mencemooh, menghina, melecehkan, mendustakan, serta menertawakan, seperti menuduh Muhammad sebagai orang gila.
b. Melontarkan propaganda palsu dengan mengatakan bahwa ajaran Muhammad adalah dongeng orang-orang terdahulu.
3. Diantara upaya atau tidakan yang kasar
a. Menebar duri di tempat Rasulullah lewat.
b. Melakukan penyiksaan kepada beberapa pengikut Islam.
c. Blokade multidimensi
d. Upaya pembunuhan terhadap Muhammad saw.[12]
Demikianlah tantangan yang dihadapi Muhammad sebagai Rasul dalam menyebarkan ajaran Islam di Mekkah. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam, yaitu:
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini (tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib) sangat tidak mereka inginkan.
2. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[13]
Ketika terus menerus bangsa kafir Quraisy melakukan penyiksaan sampai tak tertahankan oleh para pemeluk Islam yang baru, maka mereka datang menemui Nabi saw memohon izin untuk pergi ke negeri tetangga menyeberangi laut merah yakni ke Abyssinia (sering juga disebutkan Habsyi atau Habsyah, sekarang Ethiopia). Nabi mengabulkan permohonan izin tersebut. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, 15 orang (11 lelaki, 4 perempuan) berangkat ke Abyssinia dalam rombongan pertama. Tidak berapa lama disusul rombongan kedua, sehingga jumlah semua rombongan kira-kira 80 orang.[14]
Orang-orang yang hijrah diterima dengan baik dan ramah oleh raja Abyssinia, Negus. Orang-orang Quraisy cukup tergoncang mengetahui kejadian ini, maka tambah meruncinglah rasa permusuhan mereka. Mereka mengutus ‘Amr bin bin ‘Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah sebagai utusan kepada Negus. Kedua utusan tersebut memohon dengan sangat di hadapan sang raja untuk menolak atau mengembalikan muhajirin (muslim yang hijrah ke Abyssinia). Akan tetapi, upaya tersebut gagal, sehingga membuat Quraisy semakin kejam terhadap kaum muslimin. Bahkan, di tengah menigkatnya kekejaman kafir Quraisy, semakin banyak orang memeluk Islam. Ditambah lagi masuknya dua tokoh besar Quraisy ke dalam agama ini, yaitu Hamzah dan Umar. Masuknya dua tokoh ini membuat Islam semakin kuat.
Menguatnya posisi umat Islam, memperkeras reaksi orang musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru untuk melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum muslimin yang dipimpin Muhammad, maka mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan.
2. Pemboikotan Bangsa Quraisy Terhadap Bani Hasyim
Orang-orang kafir Mekkah telah menguras tenaga untuk menganiaya, melukai dan menghukum Muhammad dan pengikutnya. Sehingga, cara lain yang mereka lakukan adalah melakukan pemboikotan terhadap Bani Hasyim. Pada tahun ketujuh kenabian, seluruh pemimpin Mekkah menyusun kesepakatan untuk pemboikotan tersebut. Kesepakatan ini ditulis oleh Manshur bin ‘Ikrimah dan ditanda tangani oleh seluruh pemimpin Mekkah. Setelah itu, hasil kesepakatan tersebut digantungkan di Ka’bah. Adapun isi dari kesepakatan tersebut adalah mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan Bani Hasyim. Tidak seorang penduduk Mekkah pun yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan suku ini, termasuk menjual makanan. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang sangat menyedihkan. Tindakan yang dilakukan mulai tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun.[15] Ini merupakan tindakan yang paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Pemboikotan tersebut baru berhenti setelah beberapa pemimpin Mekkah menaruh belas kasihan kepada Bani Hasyim dan akhirnya merusak lembaran kesepakatan yang digantungkan di Ka’bah, sebagiannya telah dimakan rayap.[16] Setelah boikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya wafat. Tiga hari setelah itu, Khadijah istri Nabi meninggal dunia pula. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan (‘ammul huzn) bagi Nabi Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan permusuhannya kepada Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian, beliau kemudian berusaha menyebarkan ajaran ke luar kota. Lalu ia pergi ke Thaif.[17]
Pada saat Nabi Muhammad sampai di Thaif, para kepala suku menolak bahkan mendengarkan saja pun enggan, bahkan mereka menghina dan menghadapi Nabi dengan kasar. Ketika Nabi meninggalkan kota ini, mereka menghasut kaum gelandangan untuk melempari Nabi dengan batu hingga terluka bagian kepala dan badannya.[18]
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekkah.[19] Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, hal ini merupakan ujian.
3. Ikrar Aqabah
Pada musim haji, suku-suku bangsa dari berbagai pelosok jazirah datang ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun adalah untuk memperingati Nabi Isma’il dan ibunya, Hajar. Diantara suku bangsa yang datang adalah suku Aus dan Khajraz dari Yatsrib.
Pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam orang dari suku Aus dan Khajraz mengunjungi Mekkah. Nabi Muhammad menyampaikan ajarannya kepada mereka, kemudian tanpa ragu-ragu mereka beriman kepada Rasulullah, Nabi yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Beberapa orang Khajraz berkata kepada Nabi, “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Aus dan Khajraz. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Tahun berikutnya 12 orang lelaki Yatsrib datang untuk memeluk Islam. Mereka mengucapkan ikrar di ‘Aqabah. Ikrar ini dikenal dengan ikrar ‘Aqabah pertama.[20] Inilah ikrar mereka:
Kami tidak akan menyekutukan sesuatu dengan Allah, kami tidak akan mencuri tidak pula berzina. Kami tidak akan membunuh anak-anak kami, dan kami akan hindari fitnah dalam segala bentuknya. Kami selalu taat kepada Nabi untuk melakukan segala sesuatu yang haq dan selalu beriman kepadanya baik dalam keadaan gembira maupun sengsara.[21]
Mereka kemudian memohon Nabi saw untuk mengirim seorang guru untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Lalu Nabi mengutus Mush’ab bin ‘Umair untuk mengajarkan Islam.
Pada tahun keduabelas kenabian datang 73 orang Muslim dari Yatsrib di musim haji dan menerima Islam. Atas nama penduduk Yatsrib mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini inilah yang dikenal dengan perjanjian ‘Aqabah kedua.[22]
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yatsrib itu, mereka semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Mereka pun mendengar kabar tentang wahyu Allah yang menghalalkan perang bagi Nabi dan pengikutnya untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Ayat-ayat ini pun beredar dari mulut ke mulut, sehingga para pemimpin Quraisy secara alami lebih terancam daripada orang-orang lain.[23] Lalu Nabi mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib terlebih dahulu. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah ,meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tinggal di Mekkah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun hijrah ke Yatsrib.
Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun masjid. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi. Tak lama kemudian Ali menggabungkan diri dengan Nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[24]
C. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Madinah
1. Pembentukan Negara Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak sejarah dalam dunia Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala atau pemimpin agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[25]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid. Selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Bahkan pada masa Nabi, masjid juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar kedua adalah ukhuwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan golongan Muhajirin dan Anshar. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti, menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, selain orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan golongan masyarakat Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan mereka. Untuk itu, sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas telah dibuat. Setiap golongan masyarkat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.[26] Dalam perjanjian itu, jelas disebutkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang social, beliau juga meletakkan dasar persamaan antarsesama manusia. Perjanjian ini dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
2. Pertahanan Negara, Diplomasi dan Peperangan
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam menjadi semakin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekkah dan musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan inilah yang kemudian membuat orang-orang Quraish berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi sebagai kepala pemerintahan mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan, yaitu untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya; dan untuk menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.[27]
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan serangan dari musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya melakukan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Perang pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam adalah perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah, Nabi bersama 305 orang muslim bergerak ke luar kota membawa perlengkapan sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quaraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang.[28] Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam peperangan ini, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka memang tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah diantara mereka dengan Nabi.
Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani sebuah piagam perjanjian dengan beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini ingin sekali menjalin hubungan dengan Nabi setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat. Selain itu, setelah perang Badar, Nabi juga menyerang sukuYahudi Madinah, Qainuqa yang berkomplot dengan orang-orang Mekkah. Orang-orang Yahudi ini akhirnya memilih keluar dari Madinah dan pergi menuju Adhri’at di perbatasan Syiria.[29]
Bagi kaum Quraisy Mekkah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju Madinah tidak kurang dari 3000 pasukan berkenderaan unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid (ketika itu masih kafir), 700 orang diantara mereka memakai baju besi. Nabi Muhammad saw menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar 1000 orang. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik dengan 300 Yahudi membelot dan kembali ke Madinah. Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal Nabi melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer dari kota Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukan bertemu. Perang dahsyat pun terjadi, yang dikenal dengan perang Uhud. Pertama-tama prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur tentara musuh yang besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid gagal menembus pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin yang tinggi dan strategi perang yang jitu, pasukan yang lebih kecil itu ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar. Kemenangan yang sudah diambang pintu ini pun tiba-tiba gagal karena godaan harta rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan musuh, termasuk di dalamnya anggota pasukan pemanah yang telah diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan posnya. Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya kabur berbalik menyerang. Perang ini berakhir dengan 70 pejuang Islam syahid di medan laga, bahkan Nabi sendiri pun terkena serangan dari musuh. Pengkhianatan Abdullah ibn Ubay diganjar dengan tindakan tegas. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi yang berkomplot dengan Abdullah ibn Ubay, diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, masih tetap di Madinah.
Masyarakat yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan masyarakat Mekkah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Di dalamnya juga bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada tahun 5 H. Atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam untuk menggali parit sebagai pertahanan. Setelah tentara sekut tiba, mereka tertahan oleh parit itu. Namun, mereka mengepung Madinah dengan mendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya. Perang ini disebut perang Ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang Khandaq (parit).[30] Dalam suasana genting itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizah di bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Setelah sebulan pengepungan, akhirnya tentara sekutu kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apapun, disebabkan angin yang amat kencang menghantam dan menerbangkan kemah-kemah mereka. Sementara itu, pengkhianat dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disayri’atkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekkah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah Umrah. Sebelum tiba di Mekkah, mereka berkemah di Hudaibiyah. Penduduk Mekkah tidak mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. Isi dari perjanjian itu antara lain:
1. Kaum muslimin belum mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditangguhkan tahun depan.
2. Lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja.
3. Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekkah yang melarikan diri ke Madinah, sedangkan pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Mekkah.
4. Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekkah, dan
5. Tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.[31]
Gencatan senjata telah memberikan kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan pemerintahan. Di antara raja-raja yang dikirimi surat adalah raja Ghassan, Mesir, Abesinia, Persia dan Romawi. Namun, tak seorang pun masuk Islam. Ada yang menolak dengan baik dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar, seperti raja Ghassan. Utusan yang dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan. Untuk membalas perlakuan ini, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak tiga ribu orang. Peperangan terjadi di Mut’ah, sebelah utara Jazirah Arab. Namun, pasukan Islam atas komando Khalid ibn Walid (sudah masuk Islam) menarik diri dan kemabli ke Madinah. Pasalnya adalah tentara Ghassan mendapat bantuan dari Romawi, sehingga memiliki kekuatan tentara ratusan ribu orang.
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, hampir seluruh Jazirah Arab, menggabungkan diri dalam Islam. Hal ini membuat orang kafir Quraisy Mekkah merasa terpojok. Sehingga, secara sepihak mereka membatalkan perjanjian tersebut. Melihat kenyataan ini, Rasulullah bertolak ke Mekkah dengan 10.000 orang tentara untuk melawan mereka. Nabi memasuki Mekkah tanpa perlawanan, Beliau tampil sebagai pemenang. Berhala-berhala di seluruh negeri dihancurkan. Setelah itu, Nabi berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khotbah disampaikan, mereka datang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekkah berada di bawah kekuasaan Nabi.
Meskipun Mekkah telah dikalahkan, namun masih ada dua suku Arab yang masih menentang, yaitu Bani Tsaqif di Thaif dan Bani Hawazin di antara Thaif dan Mekkah. Mereka berkomplot ingin memerangi Islam karena telah menghancurkan berhala-berhala mereka di sekitar Ka’bah. Untuk ini Nabi mengerahkan kira-kira 12.000 pasukan dan memimpinnya langsung menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Umat Islam dapat menaklukkan kedua suku tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian, seluruh Jazirah Arab berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Melihat kenyataan tersebut di atas, maka Heraklius menyusun pasukan besar di utara Jazirah Arab, Syiria, yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu, bergabung Bani Ghassan dan Bani Lachmides. Untuk menghadapi pasukan Heraklius ini, banyak pahlawan Islam menyediakan diri siap berperang bersama Nabi, sehingga terhimpun pasukan Islam yang besar pula. Melihat hal ini, akhirnya tentara Romawi itu mundur dan kembali ke daerahnya. Nabi sendiri tidak melakukan pengejaran terhadap mereka, tetapi berkemah di Tabuk. Di sinilah Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian, daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam Islam. Perang Tabuk adalah perang terakhir Rsulullah saw.
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632 M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad dan menyatakan ketundukan mereka. Dalam kesempatan menunaikan ibadah haji yang terakhir, yang disebut haji wada’ (tahun 10 H/631 M), Nabi menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbahnya itu berisi prinspi-prinsip yang bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan social, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas. Setelah itu, Nabi segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para da’i dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan islam, mengatur peradilan dan memungut zakat. Dua bulan setelah itu, Nabi mengalami sakit dan tenaganya dengan cepat berkurang. Pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H/8 Juni 632 M, Nabi wafat di rumah istrinya Aisyah.[32]//
Dari seluruh perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, di samping sebagai pemimpin agama, juga merupakan seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang handal. Hanya dalam waktu sepuluh tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh Jazirah Arab dalam kekuasaannya.
Sebagai Nabi dan Rasul, beliau dilegitimasi dengan wahyu. Sebagai pemimpin atau kepala negara, beliau dilegitimasi dengan kontrak sosial, yaitu perjanjian Aqabah.
Source
Dalam sejarah, peradaban Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah seorang tokoh agung yang dilahirkan dalam lingkungan masyarakat jahiliah dan paganis di Jazirah Arab. Dia adalah Muhammad bin ‘Abdullah, rasul terakhir dan penutup para nabi. Perjalanan kehidupannya adalah sebuah sejarah kepemimpinan yang sangat penting bagi umat manusia. Secara umum, kepemimpinannya dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah adalah masa yang dimulai dari diangkatnya beliau menjadi Rasul hingga hijrah ke Madinah. Sedangkan periode Madinah adalah masa ketika Nabi Muhammad berada di Madinah hingga beliau wafat.
Kepemimpinan Muhammad saw pada masa hidupnya telah memberikan arti penting dalam sejarah peradaban manusia pada umumnya, dan Islam pada khususnya. Kepemimpinan beliau dipandang tidak hanya sebatas sebagai pemimpin agama, akan tetapi juga sebagai pemimpin negara. Dengan kata lain, kepemimpinannya tidak hanya sebagai rasul, melainkan juga sebagai negarawan. Namun, ada sebagian orang yang menyangkal pernyataan ini. Oleh karena itulah, tulisan singkat ini akan membahas kepemimpinan Nabi Muhammad saw periode Mekkah dan periode Madinah. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman tentang Muhammad sebagai pemimpin agama dan Negara dalam tinjauan historis atau sejarah.
B. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Mekkah
1. Muhammad Menjadi Nabi dan Rasul
Sejak Muhammad saw belum menjadi nabi, beliau adalah orang yang tidak pernah cacat (tercela) di tengah masyarakatnya. Selain karena terlahir dari keluarga mulia, Muhammad juga selalu dikenal hanya mengerjakan perbuatan yang mulia atau terpuji saja. Di samping itu, beliau memiliki prestasi sejak usia belia. Beliau menjadi pemersatu umat dalam peletakan kembali Hajar Aswad, sehingga para pemimpin suku dan masyarakat mengakui beliau sebagai Al-Amin.[1]
Menjelang usia kematangannya, kebiasaan Muhammad adalah mendatangi gua Hira untuk melakukan meditasi dan bertafakkur[2] tentang Yang Maha Pencipta untuk mencari untuk mencari jawaban-jawaban terhadap misteri kehidupan. Dia benar-benar sangat tergoncang melihat kemungkaran masyarakat, penyembahan berhala dan kegiatan yang tidak manusiawi. Ketika beliau mendekati usia empat puluh tahun, ia meningkatkan kontemplasi dan tafakkur. Penyembahan berhala dan menurunnya moral masyarakat sangat menekan perasaannya, karena itu ia mencari jalan yang lurus seperti yang disingkapkan oleh Al Qur’an:
“Dan Dia menemukanmu (Muhammad) sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Q.S. 93: 7)[3]
Suatu hari di bulan Ramadan 610 M (hari Senin, 17 Ramadan, menurut Ibnu Sa’d) ketika ia sedang khusyuk bertafakkur di gua, ia melihat malaikat Jibril dan menyuruhnya membaca.[4] Di saat inilah wahyu pertama turun, yaitu Surat al-‘Alaq ayat 1-5. Turunnya wahyu pertama ini berarti beliau telah dipilih Tuhan sebagai Nabi.
Dalam wahyu pertama itu, beliau belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[5] Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya.[6]Dengan turunnya perintah itu, maka Nabi Muhammad telah diangkat menjadi Rasulullah (utusan Allah) yang membawa misi Islam untuk umat. Dan beliau lah Rasul terakhir serta penutup para nabi.
Di masa awalnya, Islam disiarkan secara rahasia. Namun, pada masa ini banyak juga yang segera masuk Islam. Orang yang pertama masuk ke dalam Islam adalah istrinya Khadijah, Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah serta Ummu Aiman. Setelah mereka menyusul Ammar bin Yasir, Khabab bin al-Arat, ‘Utsman bin Affan, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Talhah, Arqam, Sa’id bin Zaid, Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Mazh’un, Ubaidah dan Shuhaib al-Rumi. Misi rahasia ini berlangsung kira-kira tiga tahun, selama ini empat puluh orang memeluk Islam. Para pemeluk Islam yang pertama-tama ini terdiri dari orang miskin, bahkan banyak dari mereka yang berasal dari hamba sahaya. [7]
Pada tahun ketiga dari kenabian, datang perintah Allah untuk menyiarkan ajaran Islam secara terbuka.[8] Rasulullah kemudian naik ke atas bukit Shafa, Ia memanggil bangsa Quraisy. Ketika mereka telah berkumpul, ia minta anggota keluarganya dari Bani Abdu Manaf untuk mendekat. Lalu, ia berpidato: “Apakah saudara-saudara percaya bila kukabarkan bahwa ada bala tentara musuh yang mendekat dari balik bukit?” “Tentu kami percaya, karena engkau selalu jujur”, jaawab mereka serentak. Kemudian Nabi meneruskan, “kamu sekalian adalah orang yang terdekat kepadaku dari suku Quraisy. Saya minta saudara untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, bila saudara menolak maka saya tidak akan menolong kamu sekalian baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bila saudara beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, saya akan menjadi saksi bagi saudara sekalian di hadapan Allah. Bila saudara mengabaikan ajaran Allah, maka tentu saudara akan celaka”. Begitu Nabi diam, tiba-tiba Abu Lahab, salah seorang paman Nabi berkata dengan marah: “Celaka engkau hai Muhammad! Hanya untuk inikah engkau panggil kami?” Lantas mereka bubar meninggalkan bukit Shafa dan tidak ambil peduli terhadap apa yang diucapkan oleh Muhammad saw.[9]
Suatu hari Nabi saw pergi ke Ka’bah di Masjidil Haram dan mengucapkan kalimat syahadah dengan suara yang keras. Lalu tindakan ini dipandang sebagai penghinaan yang amat besar terhadap Ka’bah dan adapt istiadat Quraisy, maka muncullah kerusuhan dan orang kafir mulai menyerang Rasul. Harits bin Abi Hala yang telah memeluk Islam, segera keluar rumah hendak menyelamatkan Rasulullah, tetapi beliau malah terbunuh menjadi syahid.[10] Begitulah penentangan para kafir Quraisy kepada Rasul dan muslimin. Namun Muhammad saw dan pengikutnya tetap meneruskan misi Islam secara terbuka. Seiring itu, penindasan dan penganiayaan yang tidak manusiawi terhadap kaum Muslimin makin lama makin menigkat. Orang-orang Quraisy bahkan semakin semangat berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghancurkan misi Nabi saw. Orang-orang yang berpengaruh seperti Abu Bakar, Utsman dan Zubair juga tidak terkecuali. Orang-orang muslim yang miskin banyak ditangkapi lalu dilempari batu kerikil di lembah yang amat panas dan dijemur di bawah terik matahari pada siang hari. Bilal, budak dari Abyssinia milik orang kafir Mekkah, dipaksa tidur telentang di atas pasir yang membara di tengah hari, lalu dadanya ditindihi batu besar sehingga ia tidak bisa menggerakkan anggota badannya sedikitpun. Kemudian Bilal diminta untuk melepaskan keislamannya, namun ia tetap bertahan dalam ketauhidannya walaupun tengah disiksa. Lantas Abu Bakar membeli budak ini dan memerdekakannya.[11]
Secara umum, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh kafir Quraisy untuk menghalangi Nabi Muhammad dalam menjalankan misi Islam di Mekkah, yaitu:
1. Diantara upaya Quraisy yang halus
a. Melakukan negosiasi kepada Abu Thalin agar Muhammad menghentikan misinya.
b. Menawarkan kepada Muhammad apa saja yang diinginkan baik harta, wanita, kedudukan, atau dokter kalau memang beliau memiliki kelainan jiwa.
c. Menawarkan ibadah secara bergantian.
2. Diantara upaya yang agak kasar:
a. Mencemooh, menghina, melecehkan, mendustakan, serta menertawakan, seperti menuduh Muhammad sebagai orang gila.
b. Melontarkan propaganda palsu dengan mengatakan bahwa ajaran Muhammad adalah dongeng orang-orang terdahulu.
3. Diantara upaya atau tidakan yang kasar
a. Menebar duri di tempat Rasulullah lewat.
b. Melakukan penyiksaan kepada beberapa pengikut Islam.
c. Blokade multidimensi
d. Upaya pembunuhan terhadap Muhammad saw.[12]
Demikianlah tantangan yang dihadapi Muhammad sebagai Rasul dalam menyebarkan ajaran Islam di Mekkah. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam, yaitu:
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini (tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib) sangat tidak mereka inginkan.
2. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezki.[13]
Ketika terus menerus bangsa kafir Quraisy melakukan penyiksaan sampai tak tertahankan oleh para pemeluk Islam yang baru, maka mereka datang menemui Nabi saw memohon izin untuk pergi ke negeri tetangga menyeberangi laut merah yakni ke Abyssinia (sering juga disebutkan Habsyi atau Habsyah, sekarang Ethiopia). Nabi mengabulkan permohonan izin tersebut. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, 15 orang (11 lelaki, 4 perempuan) berangkat ke Abyssinia dalam rombongan pertama. Tidak berapa lama disusul rombongan kedua, sehingga jumlah semua rombongan kira-kira 80 orang.[14]
Orang-orang yang hijrah diterima dengan baik dan ramah oleh raja Abyssinia, Negus. Orang-orang Quraisy cukup tergoncang mengetahui kejadian ini, maka tambah meruncinglah rasa permusuhan mereka. Mereka mengutus ‘Amr bin bin ‘Ash dan ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah sebagai utusan kepada Negus. Kedua utusan tersebut memohon dengan sangat di hadapan sang raja untuk menolak atau mengembalikan muhajirin (muslim yang hijrah ke Abyssinia). Akan tetapi, upaya tersebut gagal, sehingga membuat Quraisy semakin kejam terhadap kaum muslimin. Bahkan, di tengah menigkatnya kekejaman kafir Quraisy, semakin banyak orang memeluk Islam. Ditambah lagi masuknya dua tokoh besar Quraisy ke dalam agama ini, yaitu Hamzah dan Umar. Masuknya dua tokoh ini membuat Islam semakin kuat.
Menguatnya posisi umat Islam, memperkeras reaksi orang musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru untuk melumpuhkan kekuatan Muhammad yang bersandar pada Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum muslimin yang dipimpin Muhammad, maka mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan.
2. Pemboikotan Bangsa Quraisy Terhadap Bani Hasyim
Orang-orang kafir Mekkah telah menguras tenaga untuk menganiaya, melukai dan menghukum Muhammad dan pengikutnya. Sehingga, cara lain yang mereka lakukan adalah melakukan pemboikotan terhadap Bani Hasyim. Pada tahun ketujuh kenabian, seluruh pemimpin Mekkah menyusun kesepakatan untuk pemboikotan tersebut. Kesepakatan ini ditulis oleh Manshur bin ‘Ikrimah dan ditanda tangani oleh seluruh pemimpin Mekkah. Setelah itu, hasil kesepakatan tersebut digantungkan di Ka’bah. Adapun isi dari kesepakatan tersebut adalah mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan Bani Hasyim. Tidak seorang penduduk Mekkah pun yang diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan suku ini, termasuk menjual makanan. Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang sangat menyedihkan. Tindakan yang dilakukan mulai tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun.[15] Ini merupakan tindakan yang paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Pemboikotan tersebut baru berhenti setelah beberapa pemimpin Mekkah menaruh belas kasihan kepada Bani Hasyim dan akhirnya merusak lembaran kesepakatan yang digantungkan di Ka’bah, sebagiannya telah dimakan rayap.[16] Setelah boikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya wafat. Tiga hari setelah itu, Khadijah istri Nabi meninggal dunia pula. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan (‘ammul huzn) bagi Nabi Muhammad saw. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan permusuhannya kepada Nabi. Melihat reaksi penduduk Mekkah demikian, beliau kemudian berusaha menyebarkan ajaran ke luar kota. Lalu ia pergi ke Thaif.[17]
Pada saat Nabi Muhammad sampai di Thaif, para kepala suku menolak bahkan mendengarkan saja pun enggan, bahkan mereka menghina dan menghadapi Nabi dengan kasar. Ketika Nabi meninggalkan kota ini, mereka menghasut kaum gelandangan untuk melempari Nabi dengan batu hingga terluka bagian kepala dan badannya.[18]
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh kenabian itu. Berita tentang isra’ mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekkah.[19] Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, hal ini merupakan ujian.
3. Ikrar Aqabah
Pada musim haji, suku-suku bangsa dari berbagai pelosok jazirah datang ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun adalah untuk memperingati Nabi Isma’il dan ibunya, Hajar. Diantara suku bangsa yang datang adalah suku Aus dan Khajraz dari Yatsrib.
Pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, enam orang dari suku Aus dan Khajraz mengunjungi Mekkah. Nabi Muhammad menyampaikan ajarannya kepada mereka, kemudian tanpa ragu-ragu mereka beriman kepada Rasulullah, Nabi yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Beberapa orang Khajraz berkata kepada Nabi, “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Aus dan Khajraz. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini.” Tahun berikutnya 12 orang lelaki Yatsrib datang untuk memeluk Islam. Mereka mengucapkan ikrar di ‘Aqabah. Ikrar ini dikenal dengan ikrar ‘Aqabah pertama.[20] Inilah ikrar mereka:
Kami tidak akan menyekutukan sesuatu dengan Allah, kami tidak akan mencuri tidak pula berzina. Kami tidak akan membunuh anak-anak kami, dan kami akan hindari fitnah dalam segala bentuknya. Kami selalu taat kepada Nabi untuk melakukan segala sesuatu yang haq dan selalu beriman kepadanya baik dalam keadaan gembira maupun sengsara.[21]
Mereka kemudian memohon Nabi saw untuk mengirim seorang guru untuk mengajarkan Islam kepada mereka. Lalu Nabi mengutus Mush’ab bin ‘Umair untuk mengajarkan Islam.
Pada tahun keduabelas kenabian datang 73 orang Muslim dari Yatsrib di musim haji dan menerima Islam. Atas nama penduduk Yatsrib mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini inilah yang dikenal dengan perjanjian ‘Aqabah kedua.[22]
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dengan orang-orang Yatsrib itu, mereka semakin gila melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Mereka pun mendengar kabar tentang wahyu Allah yang menghalalkan perang bagi Nabi dan pengikutnya untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Ayat-ayat ini pun beredar dari mulut ke mulut, sehingga para pemimpin Quraisy secara alami lebih terancam daripada orang-orang lain.[23] Lalu Nabi mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib terlebih dahulu. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah ,meninggalkan kota Mekkah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tinggal di Mekkah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun hijrah ke Yatsrib.
Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman rumah ini Nabi membangun masjid. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi. Tak lama kemudian Ali menggabungkan diri dengan Nabi, setelah menyelesaikan segala urusan di Mekkah. Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan. Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.[24]
C. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw Periode Madinah
1. Pembentukan Negara Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak sejarah dalam dunia Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala atau pemimpin agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[25]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan masjid. Selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Bahkan pada masa Nabi, masjid juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar kedua adalah ukhuwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan golongan Muhajirin dan Anshar. Apa yang dilakukan Rasulullah ini berarti, menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, selain orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan golongan masyarakat Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian dengan mereka. Untuk itu, sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas telah dibuat. Setiap golongan masyarkat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.[26] Dalam perjanjian itu, jelas disebutkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang social, beliau juga meletakkan dasar persamaan antarsesama manusia. Perjanjian ini dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
2. Pertahanan Negara, Diplomasi dan Peperangan
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam menjadi semakin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekkah dan musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan inilah yang kemudian membuat orang-orang Quraish berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi sebagai kepala pemerintahan mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan, yaitu untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya; dan untuk menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.[27]
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan serangan dari musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya melakukan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Perang pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam adalah perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan kaum musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah, Nabi bersama 305 orang muslim bergerak ke luar kota membawa perlengkapan sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quaraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang.[28] Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam peperangan ini, kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka memang tidak sepenuh hati menerima perjanjian yang telah diantara mereka dengan Nabi.
Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani sebuah piagam perjanjian dengan beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini ingin sekali menjalin hubungan dengan Nabi setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat. Selain itu, setelah perang Badar, Nabi juga menyerang sukuYahudi Madinah, Qainuqa yang berkomplot dengan orang-orang Mekkah. Orang-orang Yahudi ini akhirnya memilih keluar dari Madinah dan pergi menuju Adhri’at di perbatasan Syiria.[29]
Bagi kaum Quraisy Mekkah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju Madinah tidak kurang dari 3000 pasukan berkenderaan unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid (ketika itu masih kafir), 700 orang diantara mereka memakai baju besi. Nabi Muhammad saw menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar 1000 orang. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik dengan 300 Yahudi membelot dan kembali ke Madinah. Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal Nabi melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer dari kota Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukan bertemu. Perang dahsyat pun terjadi, yang dikenal dengan perang Uhud. Pertama-tama prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur tentara musuh yang besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid gagal menembus pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin yang tinggi dan strategi perang yang jitu, pasukan yang lebih kecil itu ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar. Kemenangan yang sudah diambang pintu ini pun tiba-tiba gagal karena godaan harta rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan musuh, termasuk di dalamnya anggota pasukan pemanah yang telah diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan posnya. Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya kabur berbalik menyerang. Perang ini berakhir dengan 70 pejuang Islam syahid di medan laga, bahkan Nabi sendiri pun terkena serangan dari musuh. Pengkhianatan Abdullah ibn Ubay diganjar dengan tindakan tegas. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi yang berkomplot dengan Abdullah ibn Ubay, diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, masih tetap di Madinah.
Masyarakat yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan masyarakat Mekkah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Di dalamnya juga bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada tahun 5 H. Atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam untuk menggali parit sebagai pertahanan. Setelah tentara sekut tiba, mereka tertahan oleh parit itu. Namun, mereka mengepung Madinah dengan mendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya. Perang ini disebut perang Ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang Khandaq (parit).[30] Dalam suasana genting itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizah di bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Setelah sebulan pengepungan, akhirnya tentara sekutu kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apapun, disebabkan angin yang amat kencang menghantam dan menerbangkan kemah-kemah mereka. Sementara itu, pengkhianat dari Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati.
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disayri’atkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekkah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah Umrah. Sebelum tiba di Mekkah, mereka berkemah di Hudaibiyah. Penduduk Mekkah tidak mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. Isi dari perjanjian itu antara lain:
1. Kaum muslimin belum mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditangguhkan tahun depan.
2. Lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja.
3. Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekkah yang melarikan diri ke Madinah, sedangkan pihak Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Mekkah.
4. Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan Mekkah, dan
5. Tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.[31]
Gencatan senjata telah memberikan kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan pemerintahan. Di antara raja-raja yang dikirimi surat adalah raja Ghassan, Mesir, Abesinia, Persia dan Romawi. Namun, tak seorang pun masuk Islam. Ada yang menolak dengan baik dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar, seperti raja Ghassan. Utusan yang dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan. Untuk membalas perlakuan ini, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak tiga ribu orang. Peperangan terjadi di Mut’ah, sebelah utara Jazirah Arab. Namun, pasukan Islam atas komando Khalid ibn Walid (sudah masuk Islam) menarik diri dan kemabli ke Madinah. Pasalnya adalah tentara Ghassan mendapat bantuan dari Romawi, sehingga memiliki kekuatan tentara ratusan ribu orang.
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, hampir seluruh Jazirah Arab, menggabungkan diri dalam Islam. Hal ini membuat orang kafir Quraisy Mekkah merasa terpojok. Sehingga, secara sepihak mereka membatalkan perjanjian tersebut. Melihat kenyataan ini, Rasulullah bertolak ke Mekkah dengan 10.000 orang tentara untuk melawan mereka. Nabi memasuki Mekkah tanpa perlawanan, Beliau tampil sebagai pemenang. Berhala-berhala di seluruh negeri dihancurkan. Setelah itu, Nabi berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khotbah disampaikan, mereka datang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekkah berada di bawah kekuasaan Nabi.
Meskipun Mekkah telah dikalahkan, namun masih ada dua suku Arab yang masih menentang, yaitu Bani Tsaqif di Thaif dan Bani Hawazin di antara Thaif dan Mekkah. Mereka berkomplot ingin memerangi Islam karena telah menghancurkan berhala-berhala mereka di sekitar Ka’bah. Untuk ini Nabi mengerahkan kira-kira 12.000 pasukan dan memimpinnya langsung menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Umat Islam dapat menaklukkan kedua suku tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian, seluruh Jazirah Arab berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Melihat kenyataan tersebut di atas, maka Heraklius menyusun pasukan besar di utara Jazirah Arab, Syiria, yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu, bergabung Bani Ghassan dan Bani Lachmides. Untuk menghadapi pasukan Heraklius ini, banyak pahlawan Islam menyediakan diri siap berperang bersama Nabi, sehingga terhimpun pasukan Islam yang besar pula. Melihat hal ini, akhirnya tentara Romawi itu mundur dan kembali ke daerahnya. Nabi sendiri tidak melakukan pengejaran terhadap mereka, tetapi berkemah di Tabuk. Di sinilah Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian, daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam Islam. Perang Tabuk adalah perang terakhir Rsulullah saw.
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632 M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad dan menyatakan ketundukan mereka. Dalam kesempatan menunaikan ibadah haji yang terakhir, yang disebut haji wada’ (tahun 10 H/631 M), Nabi menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbahnya itu berisi prinspi-prinsip yang bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan social, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas. Setelah itu, Nabi segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para da’i dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan islam, mengatur peradilan dan memungut zakat. Dua bulan setelah itu, Nabi mengalami sakit dan tenaganya dengan cepat berkurang. Pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H/8 Juni 632 M, Nabi wafat di rumah istrinya Aisyah.[32]//
Dari seluruh perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, di samping sebagai pemimpin agama, juga merupakan seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang handal. Hanya dalam waktu sepuluh tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh Jazirah Arab dalam kekuasaannya.
Sebagai Nabi dan Rasul, beliau dilegitimasi dengan wahyu. Sebagai pemimpin atau kepala negara, beliau dilegitimasi dengan kontrak sosial, yaitu perjanjian Aqabah.
Source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar