KOTA GAZA--MICOM: Meskipun wilayah Palestina, khususnya Jalur
Gaza, dijuluki sebagai penjara terbesar di dunia, namun penduduknya
tegar. Wajah-wajah mereka ceria dan jauh dari mental pengemis.
"Maaf Pak, ini uang kembalinya. Mungkin ada yang lebih berhak menerimanya," ujar Ahmad Gezawi, penjual air mineral di kedai mini di Kota Gaza, kepada Munawar Saman Makyanie dari Antara, Kamis (29/11).
Munawar memang sengaja membeli sebotol kecil air minum di kedai Ahmad dengan selembar uang senilai US$10 (sekitar Rp90.000).
Ketika Ahmad menyerahkan sisa uang kembalian, sambil senyum Munawar bilang, "Buat kamu saja ya." Tapi dengan ramah, pemuda lajang berusia 24 tahun itu menolaknya sembari minta maaf.
Transaksi jual-beli di Gaza menggunakan tiga mata uang asing, yaitu pound Mesir, dolar AS, dan shekel Israel. Palestina tidak memiliki mata uang karena masih berstatus sebagai jajahan Israel sejak 1967.
Ahmad merupakan cermin sebuah bangsa bermartabat. Kendati hidup di bawah jajahan Israel, mereka tetap tabah, tanpa pamrih dalam mencari sepotong roti alias 'sesuap nasi' dengan usaha sendiri.
"Kami dilatih bermental baja untuk hidup mandiri, tidak boleh mengemis,"
tutur Hesham Ahmad, penjual suvenir di Commodore Hotel, Gaza, tempat rombongan Indonesia menginap, dengan berapi-api.
"Kami memang butuh dukungan politik dan bantuan ekonomi internasional, tapi kami harus memperolehnya secara terhormat dan bermartabat. Kepala kami harus tetap tegak," katanya.
Bagi orang yang belum pernah ke Gaza pasti kaget dengan kenyataan ini bahwa
tidak satu pun warga Gaza meminta-minta dan mengemis di trotoar jalanan.
Seorang wartawan Mesir Hesham Zaki yang telah melakukan reportase di berbagai tempat di seantero Jalur Gaza mengakui kenyataan ini.
"Hampir tidak ada saya temui warga Gaza mengemis di trotoar jalanan. Suasana ini berbeda dengan Kairo, ibu kota negara saya," kata Hesham.
Penilaian senada dikemukakan Maryam Rachmayani, aktivis LSM Indonesia dari Adara Relief International.
"Saya kagum dengan warga Gaza. Setiap kali kami membagikan bantuan berupa tas dan peralatan sekolah anak-anak, ibu-ibu warga Gaza bersama anak-anak mereka yang berdiri di pinggir jalan dekat tempat pembagian tidak serta-merta datang meminta. Bahkan kami yang mendatangi mereka untuk memberikan paket tersebut," kata wanita setengah baya itu. (Ant/OL-5)
"Maaf Pak, ini uang kembalinya. Mungkin ada yang lebih berhak menerimanya," ujar Ahmad Gezawi, penjual air mineral di kedai mini di Kota Gaza, kepada Munawar Saman Makyanie dari Antara, Kamis (29/11).
Munawar memang sengaja membeli sebotol kecil air minum di kedai Ahmad dengan selembar uang senilai US$10 (sekitar Rp90.000).
Ketika Ahmad menyerahkan sisa uang kembalian, sambil senyum Munawar bilang, "Buat kamu saja ya." Tapi dengan ramah, pemuda lajang berusia 24 tahun itu menolaknya sembari minta maaf.
Transaksi jual-beli di Gaza menggunakan tiga mata uang asing, yaitu pound Mesir, dolar AS, dan shekel Israel. Palestina tidak memiliki mata uang karena masih berstatus sebagai jajahan Israel sejak 1967.
Ahmad merupakan cermin sebuah bangsa bermartabat. Kendati hidup di bawah jajahan Israel, mereka tetap tabah, tanpa pamrih dalam mencari sepotong roti alias 'sesuap nasi' dengan usaha sendiri.
"Kami dilatih bermental baja untuk hidup mandiri, tidak boleh mengemis,"
tutur Hesham Ahmad, penjual suvenir di Commodore Hotel, Gaza, tempat rombongan Indonesia menginap, dengan berapi-api.
"Kami memang butuh dukungan politik dan bantuan ekonomi internasional, tapi kami harus memperolehnya secara terhormat dan bermartabat. Kepala kami harus tetap tegak," katanya.
Bagi orang yang belum pernah ke Gaza pasti kaget dengan kenyataan ini bahwa
tidak satu pun warga Gaza meminta-minta dan mengemis di trotoar jalanan.
Seorang wartawan Mesir Hesham Zaki yang telah melakukan reportase di berbagai tempat di seantero Jalur Gaza mengakui kenyataan ini.
"Hampir tidak ada saya temui warga Gaza mengemis di trotoar jalanan. Suasana ini berbeda dengan Kairo, ibu kota negara saya," kata Hesham.
Penilaian senada dikemukakan Maryam Rachmayani, aktivis LSM Indonesia dari Adara Relief International.
"Saya kagum dengan warga Gaza. Setiap kali kami membagikan bantuan berupa tas dan peralatan sekolah anak-anak, ibu-ibu warga Gaza bersama anak-anak mereka yang berdiri di pinggir jalan dekat tempat pembagian tidak serta-merta datang meminta. Bahkan kami yang mendatangi mereka untuk memberikan paket tersebut," kata wanita setengah baya itu. (Ant/OL-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar