Kamis, 11 Oktober 2012

Kesetaraan Jender Ada Sejak Masa Jawa Kuno


Kesetaraan Jender  Ada Sejak Masa Jawa Kuno
Jakarta, kasakusuk.com
Siapa bilang emansipasi wanita baru ada di era abad 20 ? Kartini-kartini masa lalu sebetulnya sudah ada jauh sebelum RA Kartini yang hidup di abad ke-18. Hasil penelitian yang dilakukan Arkeolog UI, Titi Surti Nastiti menunjukkan kesetaraan jender sudah ada sejak jaman Jawa Kuno walaupun dari segi kuantitas belum sebanyak laki-laki pada masanya. Titi Surti Nastiti dalam disertasinya yang berjudul,”Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuno abad 8-15 Masehi,” menyimpulkan bahwasanya kaum perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam meraih jabatan publik, kegiatan sosial, ekonomi, dunia kesenian dan lainnya.
Di bidang politik misalnya, sang istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari suami. Contohnya adalah Wikramawarddhana saat mengeluarkan prasasti Patapan II yang berangka tahun 1385 Masehi, prasasti Tirah/Karang Bogem (1387 M) menggunakan lambang daerah Lasem, yang menjadi daerah asal sang istrinya, yaitu Kusumawarddhani. Penggunaan lambing itu menjadi simbol bahwa kekuasaan Kusumawarddhani lebih besar dari Wikramawarddhana. Contoh yang sama juga terjadi pada Bhre Wirabumi yang mendapatkan gelarnya dari sang istri, Nagarawarddhani.
Itu dari masa Majapahit. Dari masa lebih tua, misalnya dari masa kerajaan Mpu Sindok di Jawa Timur yang memerintah pada masa abad ke-9 Masehi, misalnya prasasti Juruhan (876 M), disebutkan banyak perempuan yang menduduki jabatan pemerintahan kerajaan. Prasasti Wulig (935 M), misalnya menyebutkan Rakai Mangibil, selir Mpu Sindok meresmikan tiga bendungan dan berhak menjadi wakil raja.
Di bidang ekonomi, terutama kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa, kiprah membantu perekonomian keluarga sudah berlangsung lama. Misalnya, menggarap sawah atau ladang dan berniaga sehingga menjadi saudagar (banigrami). Mereka tetap sebagai ibu rumah tangga. Di sela-sela kegiatannya, mereka membuat kerajinan untuk digunakan sendiri atau dijual.
Perempuan bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber penghasilan keluarga dan ada perempuan profesional dalam bidang seni pertunjukan. Pada masa itu perempuan bisa dikatakan memiliki posisi penting dalam masyarakat, walau dalam hal keagamaan posisi ini masih dibatasi. Perempuan tidak boleh menjadi pejabat tinggi kerajaan atau kawi. Menurut Titi Surti Nastiti, jika ditelusuri asal muasalnya, maka batasan ini sebetulnya datang dari kebudayaan India. (ndp) http://nbcgeonair.blogspot.com sumber : http://kasakusuk.com
Bagikan ke :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Twitter fb share